Menyingkap Topeng Walid

Dalam Serial “Bidaah” asal Malaysia, sosok Walid berdiri di garis depan sebagai pemuka agama yang digdaya, berwibawa, dan dihormati. Namun di balik jubah putih dan suara lembutnya, tersembunyi hasrat dominasi yang gelap. Ia tidak hanya memperalat agama, tetapi menjadikannya tameng untuk menekan, mengontrol, bahkan menghukum orang-orang yang tidak sejalan dengan tafsir sempitnya tentang kebenaran. Melalui tokoh Walid, serial ini memaksa kita merenung: seberapa mudah agama, yang seharusnya membawa rahmat, justru berubah menjadi alat kekerasan ketika jatuh ke tangan yang salah?
Sudah lama sejarah mencatat bahwa agama bisa dimanfaatkan sebagai instrumen kuasa. Dari masa ke masa, selalu ada figur seperti Walid—yang dengan fasih mengutip dalil, tapi memelintir maknanya demi kepentingan sendiri. Walid bukan ateis, bukan juga orang bodoh. Ia adalah cerminan dari mereka yang pandai, tapi tersesat oleh ambisi. Agama dijadikan perisai, bukan pedoman. Dan umat pun terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan yang dikemas dalam narasi kesalehan.
Umat Islam hendaknya waspada kepada siapa pun yang menjadikan agama sebagai alat manipulasi. Ironisnya, tokoh seperti Walid bukan hanya menguasai dalil, tetapi juga mengendalikan interpretasi. Ia menutup pintu dialog, membungkam kritik.
Apa yang dilakukan Walid mengingatkan kita pada sabda Nabi Muhammad, “Yang paling aku takutkan atas umatku adalah orang munafik yang pandai berbicara.” (HR. Ahmad)
Dan juga sabda beliau, “Akan datang tahun-tahun penuh penipuan, di mana pendusta dianggap jujur dan orang jujur dianggap pendusta dan yang berbicara adalah ruwaibidhah.” (HR. Ibn Majah)
Ruwaibidhah adalah simbol dari mereka yang tak berhak bicara dalam urusan umat, tetapi justru mendominasi wacana. Di sinilah letak bahayanya. Ketika suara kebenaran dibungkam dan digantikan oleh suara yang keras namun kosong, maka yang terjadi adalah kekacauan spiritual dan sosial.
Namun, yang paling mengerikan bukanlah fitnah bidaah itu sendiri, tetapi atmosfer ketakutan yang diciptakan oleh tokoh Walid. Ia menjadikan umat saling curiga. Tradisi dan kearifan lokal dicap sebagai sesat. Zikir dianggap nyanyian bid’ah. Doa bersama dikutuk sebagai perbuatan syirik. Semua yang tidak sesuai dengan versinya, dianggap musuh. Padahal, Islam sendiri datang bukan untuk mempersempit, tetapi melapangkan jalan hidup manusia.
Tokoh seperti Walid bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Tapi ketika umat memiliki ilmu, akhlak, dan nalar yang sehat, maka pengaruhnya akan melemah. Agama bukan alat kuasa, tetapi jalan cahaya. Jangan biarkan cahaya itu diredupkan oleh mereka yang bersuara lantang, tapi hatinya gelap.
Menghadapi figur seperti Walid dalam kehidupan nyata menuntut umat untuk memperkuat literasi keagamaan dan kesadaran kolektif. Umat Islam perlu kembali pada semangat ilmu, tabayyun, dan adab dalam beragama. Agama harus dipelajari dengan cinta, bukan ketakutan; disampaikan dengan hikmah, bukan caci maki. Ketika umat memiliki kedalaman ilmu dan kelembutan hati, maka mereka tidak akan mudah diperdaya oleh retorika yang keras tapi kosong.